Lab. Rancang Ruang Fisik Kota

Perencanaan Wilayah & Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Senin, 04 Februari 2008

Banjir Semarang


Penelitian ini masih dalam proses untuk diterbitkan (insya Allah 2008 benar-benar bisa terbit)

Semarang termasuk wilayah pesisir. Lingkungan pesisir pada umumnya memiliki bentuk lahan antara lain : teras marin, gisik, dataran aluvial pantai, dan delta (Sutikno, 1983). Dari bentuk lahan tersebut yang sering digunakan untuk permukiman adalah pada bentuk lahan beting pantai dan gisik pasiran. Kedua bentuk lahan inilah yang memberikan kemungkinan yang baik untuk lokasi permukiman karena unsur medan yang bebas dari genangan air, serta di dalamnya terkandung kantong-kantong air tawar untuk ke­perluan sehari-hari (Sandy, 1977:8). Kenyataan sekarang yang terlihat ternyata daerah tersebut saat ini juga tergenang oleh banjir.

Sejak awal tahun 1971 banjir yang secara rutin ter­jadi setiap tahun di kota Semarang, mulai menyebar ke berbagai tempat yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir, terutama di dataran aluvial pantai daerah tersebut. Banyak daerah yang dulunya berfungsi sebagai tempat penampungan sementara luapan air, sekarang sudah beralih fungsi menjadi lahan yang terbangun. Umumnya tempat penampungan luapan air tersebut sekaligus berfung­si sebagai tempat pengatusan, yaitu tempat resapan air ke dalam tanah, karena beralih fungsi sehingga air yang menggenang akan mengalir ke daerah rendah lainnya. Banjir yang melanda Kota Semarang sebenarnya ada tiga jenis, yaitu banjir kiriman, ini akibat dari tingginya inten­sitas hujan di daerah atas (Ungaran), banjir pasang adalah naiknya air laut, dan banjir genangan yaitu akibat dari tingginya intensitas hujan lokal yang terjadi di Kota Semarang. Banjir genangan ini yang paling banyak melanda daerah pusat kota, menggenangi daerah permukiman, pusat-pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan. Datangnya rutin setiap tahun, yaitu pada musim hujan antara bulan Desember sampai dengan bulan Februari.

Banjir bisa terjadi karena intensitas hujan yang tinggi. Tetapi yang banyak menimbulkan permasalahan di beberapa kota besar, termasuk Kotamadya Semarang adalah bertambahnya luasan genangan banjir yang terjadi. Bertambahnya luas genangan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ulah manusia, yaitu yang berupa perubahan dalam penggunaan lahannya. Sedangkan intensitas hujan yang mempunyai siklus teratur tersebut sebenarnya dapat dianggap konstan, sehingga meluasnya genangan banjir lebih banyak dipengaruhi oleh ulah manusia.

Perilaku/ ulah manusia tersebut diakibatkan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di dalam kota. Pertambahan penduduk ini mengakibatkan mekarnya area per­mukiman, yaitu merubah lahan-lahan yang tadinya kosong menjadi lahan terbangun. Dalam kondisi seperti ini, air larian yang terjadi akan lebih besar, dan mengumpul dalam waktu yang lebih lama sebab fungsi tanah untuk resapan air terganggu. Akibatnya genangan banjir akan merambah kemana-mana, genangan menjadi semakin luas.

Pada tahun 1971, beberapa bagian pusat Kota Semarang khususnya di antara kedua Banjir Kanal, yaitu Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur telah dilanda banjir. Daerah-daerah yang sering terkena banjir pada waktu itu adalah daerah-daerah yang terletak pada satuan bentuk ­lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya, seperti bekas satuan bentuk lahan rawa delta dan rawa pasang surut berair payau. Lama, luas, dan kedalaman banjir bervariasi. Di Kompleks Simpang Lima misalnya kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir antara 3-6 jam, dan luasnya sekitar 50,78 hektar; di daerah Mlatiharjo kedalaman banjir berkisar antara 40­70 cm dan lama banjir antara 3 - 6 jam, luasnya sekitar 63,9 hektar; di Kuningan kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir berkisar 1 - 6 jam dengan luas sekitar 16,26 hektar.

Pada tahun 1980 luas banjir di pusat Kota Semarang mencapai luasan sekitar 762,775 hektar, dan umumnya ter­jadi di daerah permukiman yang berada pada satuan bentuk ­lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya. Dan banjir yang terjadi di pusat Kota Semarang pada tahun 1987 telah meluas pada satuan bentuk ­lahan yang sebelumnya tidak pernah kena banjir. Luas dae­rah banjir antara Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur dalam periode ini luasnya sekitar 1.211,70 hektar (DPU Kotamadya Semarang, 1987).
Untuk itu, di sini ingin diteliti apakah peningkatan volume banjir tersebut akibat dari perubahan penggunaan lahan, khususnya perluasan area permukiman pada daerah banjir dan daerah penyetornya, atau barangkali karena pengaruh peningkatan kepadatan penduduknya, baik pada daerah banjir, yang mengakibatkan terhalangnya aliran air, maupun pada daerah penyetornya, yang mengakibatkan meningkatnya air limpasan. Diambilnya faktor-faktor ter­sebut dalam penelitian ini karena adanya anggapan bahwa pengaruh dari tingginya intensitas hujan dan luas tang­kapan air hujannya dapat dianggap konstan. Nilai I (in­tensitas hujan) mempunyai siklus yang teratur, dan nilai A adalah tetap, sebab tidak terjadi perubahan arah sa­luran pengatusan. Jadi penelitian ini lebih banyak meli­hat pada faktor perilaku manusia dalam perannya sebagai pengubah nilai koefisien air larian.

0 komentar: